Peningkatan kualitas hidup salah satunya dapat dilakukan dengan meningkatkan kapasitas dan kompetensi pengetahuan melalui pendidikan. Sebagaimana diamanatkan dalam program UNESCO, yakni ‘lifelong learning’ yang terdiri atas a) Literacy; b) Technical and Vocational Education and Training (TVET); c) Higher Education; d) Open and Distance Learning; e) ICT Applications for Non–Formal Education; f) 21st Century Skills. Perubahan teknologi, iklim, demografi, dan budaya terjadi semakin cepat dan semakin masif di kehidupan kita, menyebabkan perkembangan sumber pengetahuan juga semakin masif dan mudah untuk diperoleh dengan memanfaatkan peran teknologi informasi. Hal ini menyebabkan perguruan tinggi perlu melakukan berbagai perubahan strategi proses pembelajaran dalam dunia pendidikan, khususnya dilingkup perguruan tinggi pada konteks peningkatan kemampuan pengetahuan dan keterampilan.
Merujuk pada undang-undang pendidikan nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Nampak dalam pernyataan di atas bahwa suatu pendidikan tidak harus terjadi bila suatu perguruan tinggi dianalogikan hanya sebagai ruang kelas untuk melakukan proses pembelajaran, namun berbagai tempat yang dapat dijadikan sumber belajar bagi peserta didik untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang terkait dengan proses interaksi yang terjadi di tempat tersebut. Seperti halnya yang dikemukakan Prof. Eko Indrajit, bahwa “belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat, sedangkan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Tentunya, pemaknaan sumber belajar tersebut tidak lagi hanya didapatkan di ruang kelas atau perpustakaan, namun dapat melalui media elektronik, seperti: komputer; radio; tv; surat kabar atau berbagai tempat organisasi/ komunitas/ kelompok, yakni: kantor pemerintahan, perusahaan negeri/swasta, UMKM/UKM, SD/SMP/ SMA/MAN, Pesantren, dan lainnya.
Pendidikan di belahan dunia manapun dalam 3 tahun terakhir ini dihadapkan pada situasi pandemi COVID, yang menuntut kebiasaan proses pembelajaran yang pada awalnya secara tatap muka langsung di kelas berubah menjadi pendidikan jarak jauh (eLearning). Bila di perhatikan secara seksama perubahan dalam proses berinteraksi saat ini dalam proses pembelajaran merupakan suatu konsekuensi dari suatu kondisi lingkungan pandemi, namun harapan masyarakat mengenai pendidikan dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan akan selalu dicari solusinya, salah satunya dengan memanfaatkan peran teknologi. Disamping itu pula dukungan akan berbagai sumber pembelajaran (resources) melalui teknologi informasi tersebut, juga semakin marak dan mudah ditemukan baik untuk pencariannya (akses) dan ketersediaan bahannya. Hal ini, diakrenakan begitu banyak masyarakat (volounter) dari manapun asalnya dengan suka rela ingin membagikan pengalaman terbaiknya untuk dapat menyajikan berbagai informasi yang diketahui/dimiliki untuk dapat dibagikan pada jejaring teknologi (dunia maya).
Permasalahan lain yang sering didengar dan dihadapi oleh kalangan dunia pendidikan, khususnya lulusan dari suatu perguruan tinggi bahwa kesiapan dari lulusan belum siap secara langsung bekerja di industri, dunia usaha dan dunia kerja (Iduka). Catatan dari sejumlah Iduka yang menyatakan tidak siapnya lulusan tersebut, dikarenakan beberapa faktor yang umum yakni: 1) perlu beradaptasi beberapa bulan 2) tidak diinginkan proses bisnis di Iduka hanya sebagai bahan percontohan/uji coba 3) waktu pelatihan yang mengganggu jalannya proses bisnis 4) menjadi beban pembiayaan yang tidak produktif. Fenomena tersebut menjadi indikator bahwa peran dari Iduka sulit menerima para lulusan dengan kondisi yang selama beberapa dekade ini berlaku di Indonesia. Link and match yang pernah diharapkan gaungnya oleh kebijakan beberapa menteri pendidikan yang terdahulu belum dapat merubah pemaknaan lulusan perguruan tinggi di mata Iduka. Indikator tersebut di atas seakan-akan menjadi suatu ukuran bahwa perguruan tinggi belum mampu secara optimal untuk dapat berkontribusi di masyarakat/Iduka, walaupun sudah banyak terobosan beberapa mahasiswa yang dapat membuat inovasi dan kreativitas produk. Tentunya, temuan dari mahasiswa tersebut rasio jumlahnya masih lebih kecil dibandingkan masalah yang ada di masyarakat/Iduka secara umum.
Melihat sejumlah fenomena yang berkembang seperti uraian di atas, maka tidak ada alasan bagi dunia pendidikan untuk segera berbenah agar dapat menjawab tantangan Iduka termasuk banyaknya keterlibatan dan kontribusi mahasiswa/lulusan dalam membantu menyelesaikan permasalahan Iduka. Kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (KemendikbudRistek) telah membuat regulasi terkait link & match yang sulit terjadi dalam periode Kementerian Pendidikan sebelumnya. Salah satunya, program mengenai Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang diperuntukkan untuk skala perguruan tinggi. Program MBKM memberikan kesempatan dan peluang bagi mahasiswa untuk mengembangkan passion yang mungkin saja baru dapat muncul pada saat berada di akhir tahun pendidikannya. Kebijakan yang dibuat oleh KemendikbudRistek, yakni memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk dapat mengikuti program MBKM baik sesuai keilmuan mahasiswa atau diluar dari keilmuan program studinya, yakni sebesar maksimum 60 sks setara dengan 3 semester. Adapun pengaturan peletakkan dan komposisi sks diberikan kewenangan penuh kepada masing-masing institusi perguruan tinggi, untuk difasilitasi mulai tingkat fakultas hingga program studi.
Fakultas Teknik Universitas Widyatama, menyambut kebijakan KemndikbudRistek ini sebagai sesuatu yang fenomenal dikarenakan satu sisi peluang dan kesempatan mahasiswa sangat besar berkiprah di Iduka/masyarakat sesuai passionnya dan kegiatan MBKM ini akan direkognisi ke dalam kurikulum. Sedangkan sisi yang lain seakan-akan keilmuan prodi tidak optimal diperoleh mahasiswa karena waktunya (pembelajaran) diganti menjadi mengikuti program MBKM tersebut. Pro kontra pada awalnya melihat kebijakan tersebut, namun seiring dengan berbagai paradigma yang diperoleh selama ini, menyebabkan keputusan untuk mengarahkan mahasiswa mengikuti program MBKM menjadi realistis. Ada sejumlah parameter yang menjadi acuan dalam memperkuat keputusan tersebut, yakni :
1. Kebijakan MBKM dari pemerintah (KemendikbudRistek) tidak hanya diperuntukkan bagi perguruan tinggi semata, ibarat tidak hanya disediakan pancingnya namun disediakan kolam dan ikannya untuk dapat dipancing. Analogi ini menjelaskan bahwa kementerian lain terlibat pula yang menyediak kolam dan ikannya, hal ini dibuktikan dengan seluruh BUMN melalui Forum Human Capital Indonesia (FHCI) memfasilitasi penerimaan mahasiswa untuk melakukan magang selama 6 bulan (maksimum) dan dapat dilanjutkan 6 bulan berikutnya bila disepakati antara 2 belah pihak (Perguruan Tinggi & FHCI). Dalam konteks ini, makna link & match yang merupakan harapan dari perguruan tinggi sejak dahulu dapat tercapai, artinya mahasiswa dapat diterima kompetensinya sesuai ketersediaan kegiatan di masing-masing BUMN.
2. Ternyata, lingkup kerjasama yang dianjurkan oleh KemendikbudRistek tidak hanya perusahaan2 di BUMN dalam program MBKM yang dikenal sebagai program Magang & Studi Independen Bersertifikat (MSIB), namun Kementerian lain pun terlibat, seperti halnya: Kemenhan dengan program Bela Negara, Kementerian Sosial dengan Program Pejuang Muda, Kementerian Kesehatan dengan Program Proyek Kemanusiaan, Kementerian Desa dengan Program Bina Desa, Badan Standarisasi Nasional, Pemerintah Daerah, Komunitas masyarakat, UMKM, hingga Perusahaan swasta.
3. Kebijakan program MBKM juga memberikan kemudahan dan atau tantangan bagi para mahasiswa dikarenakan mahsiswa dapat memilih program mana saja yang dapat dipilih sesuai dengan impiannya, artinya mahasiswa dapat memilih program yang tidak sesuai dengan latar belakang keilmuan yang saat ini sedang berlangsung. Disinilah kemudahan dan sekaligus tantangan bagi mahasiswa untuk menentukan passion yang sebenarnya diinginkan. Kesempatan ini memberikan keuntungan bagi mahasiswa yang mengambil pilihan program MBKM karena dapat memulai impiannya dengan kepercayaan yang diberikan dari mitra pada program MBKM tersebut. Sehingga, sangat banyak pengalaman konkret dan nyata dari mahasiswa yang pernah mengambil program MBKM dengan membandingkan, bahwa mahasiswa tidak pernah memperoleh pengalaman tersebut dengan dunia pembelajaran di kampus.
4. Salah satu hambatan dalam terjadinya link & match di masa yang lalu, bahwa mahasiswa yang mempunyai talenta di luar kampus ternyata tidak dapat di rekognisi hasilnya ke dalam penilaian mata kuliah di sebaran kurikulum. Jangankan bertalenta tidak sesuai dengan keilmuan prodinya, malah mahasiswa yang mempunyai kompetensi yang sesuai dengan keilmuannya dan telah membantu pihak mitra atau menghasilkan suatu keberhasilan dalam wirausaha baru (start up), juga tidak dapat dinilai sebagai suatu keberhasilan untuk dijadikan rujukan nilai pada suatu mata kuliah. Kebijakan KemendikbudRistek dalam program MBKM membawa perubahan yang berbanding terbalik dengan periode-periode kebijakan Kementerian yang terdahulu. Saat ini, semua talenta dan kompetensi yang ditunjukkan mahasiswa terkait dengan kegiatannya di luar kampus dan memberikan dampak di masyarakat/Iduka dapat direkognisi (konversi) ke dalam suatu mata kuliah, baik dalam mata kuliah yang sesuai dengan penamaan dalam kegiatan MBKM atau dibuatkan nama baru mata kuliah. Dalam hal ini KemendikbudRistek telah memberikan kewenangan penuh kepada setiap instisusi perguruan tinggi terkait teknis operasional rekognisinya.
5. Hal lain yang menjadi pengamatan dalam proses pembelajaran di kampus saat ini, dimana peran teknologi informasi sudah semakin pesat dalam kehidupan bermasyarakat, tidak terkecuali perguruan tinggi. Artinya, resource pengetahuan dan keterampilan terdahulu hanya dapat ditemui dan dipahami jika mahasiswa hadir di kelas nyata secara fisik. Namun saat ini, sudah dapat digantikan peran seorang dosen bila hanya sekedar transfer pengetahuan (satu arah/dua arah), yang mana peran tersebut dapat digantikan dengan teknologi melalui penelusuran di mesin pencari atau rekaman/streaming video dan dapat dilakukan pengulangan terkait platform teknologi. Tentunya, informasi yang disajikan dalam teknologi informasi tersebut merupakan proses pembelajaran terbesar dan tanpa batas dalam penyajian pengetahuan dan keterampilan. Paradigma dosen seperti peran teknologi informasi ini perlu disikapi secara bijak, yang artinya peran dosen tidak lagi sebagai transfer pengetahuan seperti biasanya, namun berperan sebagai arsitek pembelajaran yang berfungsi sebagai desainer belajar mahasiswa. Mahasiswa dirancang & diarahkan dalam mencari dan melihat berbagai permasalahan dan solusi sesuai teori yang berkembang, serta tersedianya berbagai pengalaman (best practice) penyelesaian masalah dalam berbagai platform teknologi informasi untuk menjadi referensi pembelajaran. Hal ini, tentunya tidak jauh berbeda dengan program MBKM yang saat ini sedang marak dilakukan. Keberadaan mahasiswa akan mendapat pengalaman berharga yang tidak pernah diterima dari dosen yang hanya sebagai transfer pengetahuan (pembelajaran terdahulu). Artinya, program MBKM ini sebagai referensi yang berharga seperti halnya peran teknologi informasi. Malahan program MBKM lebih fenomenal, dikarenakan peluang berinteraksi dan penilaian kompetensi dan talenta seorang mahasiswa dapat langsung dilihat/dinilai oleh pihak pengguna lulusan perguruan tinggi. Apalagi bila mahasiswa dapat menggabungkan kemampuan memanfaatkan teknologi informasi dengan penerapan/penyelesaian masalah dalam program MBKM akan memberikan hasil yang semakin optimal.
6. Proses interaksi pembelajaran dalam program MBKM, ternyata memberikan banyak pengalaman baru yang membuktikan efisiensi & efektifitas penerimaan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa. Terbukti dengan sejumlah pelaksanaan program MBKM baik yang hadir di tempat mitra atau yang tidak hadir di mitra MBKM karena dilakukan secara jarak jauh (daring/dalam jaringan), namun progress dan finalisasi suatu hasil kerja diberikan penilaian yang terbaik dari pihak mitra MBKM (eksternal insitusi pendidikan). Mahasiswa di era teknologi informasi saat ini adalah peniru yang cepat, mereka akan melakukan proses pembelajaran secara berpindah-pindah (melompat), sehingga sangat dinamis dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Apalagi bila semakin meningkatnya sinyal bandwith di Indoensia dengan biaya yang semakin murah serta mulai berkembangnya teknologi metaverse yang mulai disebarluaskan pula oleh pemerintah, sehingga eLearning merupakan suatu model pembelajaran yang sangat diharapkan untuk berbagai penyelesaian perkuliahan mengganti peran dari pembelajaran terdahulu. Tentunya, akan berkaitan langsung dengan beberapa program MBKM yang dapat memanfaatkan model eLearning yang dapat menggabungkan kerja dari pihak stakeholder/eksternal (mitra MBKM), pihak mahasiswa, dan pihak program studi.
Uraian di atas telah memberikan banyak wawasan dan cerminan, mengapa Fakultas Teknik Universitas Widyatama melakukan perubahan paradigma pembelajarannya. Hal ini diperkuat dengan memfasilitasi berbagai ketersediaan model pembelajaran yang dapat dipilih oleh mahasiswa. Program MBKM dan eLearning merupakan sarana yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa melalui peran dosen, program studi, dan fakultas selama ini, setelah penerapannya selama 3 tahun terakhir di Universitas Widyatama. Sebagai bagian akhir dalam pemikiran ini yang bersesuaian dengan pemikiran Eko Indrajit bahwa Kunci Sukses Pembelajaran Dalam MBKM: Jam terbang (practice make perfect); Berfikir terbuka (Open mindset); Berani eksperimen (Dosen merdeka); Tak henti belajar (lifelong learning). “Apakah ingin Kembali ke masa lalu yang semuanya diatur (administrasi) sehingga menghambat kreativitas dan inovasi dalam berfikir serta berkarya ? ”, Sebaiknya Tidak.