Sentani - Namanya cukup unik, Tutari. Sejatinya, Tutari merupakan sebuah kawasan cagar budaya berbentuk situs megalitik yang berada di atas bukit berketinggian antara 150-200 meter di atas permukaan laut. Letaknya di Kampung Doyo Lama yang permukimannya dibangun berbaris rapi mengikuti alur tepian Danau Sentani dengan ujungnya adalah sebuah tanjung yang kerap disebut sebagai Bukit Teletubbies.
Di bagian timur laut dari situs yang masuk wilayah Distrik Waibo di Kabupaten Jayapura ini terhampar Pegunungan Cycloop dengan bentang alam mempesona, memanjang dari barat ke timur. Situs ini dapat dijangkau dengan berkendara sejauh 7 kilometer selama 20 menit dari Bandar Udara Sentani atau sekitar satu jam berkendara berjarak 42 km dari pusat kota Jayapura, Ibu Kota Provinsi Papua.
Di tempat ini kita dapat menyaksikan warisan budaya manusia bernilai sejarah tinggi dari masa prasejarah Papua. Situs megalitik Tutari memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri, hal ini dapat dilihat dari temuan tinggalan-tinggalan arkeologi di dalamnya yang cukup lengkap. Seperti temuan lukisan pada bongkahan-bongkahan batu tersebar hampir di semua permukaan situs.
Ada pula beberapa buah susunan batu temugelang, batu berjajar, batu-batu berlukis, dan kelompok menhir. Mereka semua yang tersebar hingga ke puncak bukit tersembul di antara tingginya ilalang, semak belukar, serta pohon-pohon kayu putih (Melaleuca cajuputi). Mengutip hasil penelitian berjudul “Pengelolaan Situs Megalitik Tutari” yang dilakukan Erlin Novita, peneliti Balai Arkeologi Jayapura, disimpulkan bahwa pada masa lampau lokasi itu dimanfaatkan sebagai pusat kegiatan religius bagi masyarakat Tutari, salah satu suku di barat Danau Sentani.
Berdasarkan penuturan para tokoh masyarakat Doyo Lama, suku Tutari pernah ada sekitar 6000 tahun lampau di sebuah perkampungan bernama Tutari Yoku Tamaiyoku. Namun, mereka akhirnya punah ketika terlibat perang antarsuku untuk memperebutkan wilayah dengan Ebe, suku yang berasal dari wilayah Pulau Yonoqom atau Yonahang. Suku Ebe membumihangus seluruh isi dan masyarakat Tutari hingga nyaris tidak menyisakan apa pun. Kecuali tempat pemujaan berbentuk bongkahan batu dan menhir.
Suku Ebe kemudian hidup berpindah, tidak hanya menguasai bekas wilayah Tutari. Mereka juga menjelajah ke Tanjung Warako, dan bergeser ke Ayauge di utara sebelumnya akhirnya menetap di tepian Danau Sentani. Suku penakluk Tutari ini kemudian diketahui sebagai nenek moyang dari masyarakat Kampung Doyo Lama, Kwadeware, dan Yakonde.
Peninggalan megalitik di Situs Tutari setidaknya dibagi menjadi enam sektor. Sektor pertama berupa batu berlukis (rock art) di mana terdapat 147 karya lukis di atas 115 bongkahan batu menggunakan teknik gores. Ada yang dilukis tunggal atau terdiri dari 2-5 lukisan dalam satu bongkahan batu. Ada 13 jenis dan motif lukisan, di antaranya unsur matahari, manusia, flora, dan satwa. Lukisan terbanyak yaitu motif ikan (95 buah), biawak (18), dan kura-kura (13).
Kemudian terdapat empat bongkahan batu berjajar saling berdekatan dipahat membentuk bagian kepala, leher dan badan. Batu-batu tersebut dijuluki sebagai batu ondoafi. Keempat batu itu dianggap mewakili suku yang pernah ada di Doyo Lama. Batu-batu ini bentuknya seperti manusia seolah sedang menatap ke Kampung Doyo Lama. Saat ini kondisi batu-batu tersebut sudah mulai terkikis oleh iklim sehingga bentuk dan besarannya sudah tidak sama lagi.
Ada pula yang disebut sebagai batu berjajar (stone arrange) terdiri dari tatanan dua deret batu disusun berjajar di mana deret sebelah kanan terdiri dari 70 batu. Sedangkan deret kiri sebanyak 44 batu. Batu-batu ini susunannya seperti penunjuk arah dengan pangkalnya ke arah batu berlukis dan bagian ujung mengarah ke kelompok menhir. Peneliti dari Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto menyebut, model tinggalan megalitik seperti ini umumnya dikaitkan dengan suatu kegiatan upacara.
Lalu ada lagi peninggalan berupa batu temu gelang (stone enclosure) yaitu tatanan batu tersusun melingkar di mana ujung satu dan lainnya saling bertemu. Terdapat enam kelompok batu temu gelang dan masuk ke sektor batu berlukis. Terakhir adalah batu tegak atau menhir yang berada di puncak Bukit Tutari dengan ukuran beragam. Ukuran terkecilnya tercatat 14 sentimeter dan terbesar yaitu 88 cm. Kelompok menhir ini berjumlah 110 batu dengan keunikan yaitu batunya tidak tertanam ke dalam tanah tetapi hanya didirikan dengan bertopang kepada susunan batu-batu ukuran lebih kecil di sekeliling menhir supaya tidak roboh.
Seluruh pemangku kepentingan sudah sepatutnya bersama-sama menjaga dan melindungi Situs Tutari yang telah telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya nasional berdasarkan Undang Undang nomor 5 tahun 1992 tentang Cagar Budaya. Ini lantaran di sekitar Situs Tutari selain sudah mulai termakan oleh iklim dan ditumbuhi lumut, dan jamur serta sempat terkena kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Ini semua berpengaruh terhadap terjadinya proses pelapukan motif-motif gambar dari batu berlukis.
Belum lagi kehadiran menara kabel tegangan listrik yang bersinggungan dengan Situs Tutari serta ancaman pemanfaatan lahan untuk permukiman penduduk dan area berburu. Karena itu, Balai Arkeologi Papua sejak beberapa tahun terakhir berkampanye untuk menyelamatkan warisan prasejarah rakyat Papua tersebut. Salah satunya bersama dinas pendidikan setempat memasukkan materi cagar budaya Tutari bagian dari mata pelajaran muatan lokal.
Termasuk mengajak para siswa berwisata sekaligus edukasi mengenalkan salah satu akar sejarah Papua. Sebelum pandemi digelar acara sosialisasi diikuti hampir 500 siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Jayapura. Balai Arkeologi Papua juga sempat menerbitkan buku Megalitik Tutari Situs Peradaban Papua dan Ayo ke Tutari sebagai bahan bacaan untuk mata pelajaran muatan lokal.