Sentani – Bupati Jayapura Mathius Awoitauw meluncurkan buku berjudul ‘Kembali ke Kampung Adat : Meniti Jalan Perubahan di Tanah Papua, di Hotel Suni Garden Sentani, Jayapura, Selasa (5/1).
Mathius Awoitauw menegaskan, awal mula muncul gagasan menulis buku ini tidak terlepas dari pengalamannya sekitar 27 tahun di bidang pemberdayaan masyarakat.
“Tampaknya ada benang merah, ketika akhirnya saya merefleksikan secara sangat mendalam praktek pembangunan yang ada di tanah Papua selama puluhan tahun bukan saja pembangunan dalam arti tata kelola pemerintahan dan masyarakat, tetapi terutama pembangunan manusia Papua. Dengan kata lain ada yang 'hilang’ dari seluruh perjalanan orang Papua selama bertahun-tahun, dan saya temukan itu di dalam tercerabutnya anak-anak Papua dari akar budayanya, sehingga bicara tentang kampung adat sebenarnya adalah bicara tentang bagaimana mengembalikan sesuatu yang hilang dari orang-orang Papua,” kata Mathius.
Selain itu, ditegaskan Mathius, gagasan Kembali ke Kampung Adat merupakan bentuk Restorasi Pembangunan di Papua. Bagi Mathius, praktek dan pola pembangunan yang ada di Papua selama ini makin membuat anak-anak Papua ‘Terasing’ dari akar budayanya sendiri. Artinya, kata dia ada pola pembangunan selama ini yang cukup sistematis yang menyebabkan anak-anak Papua ‘menjadi terasing’ dari budayanya sendiri.
“Sementara dalam banyak pengalaman saya, kebetulan saya adalah juga anak Kepala Suku, sedikit banyak mengerti bagaimana Akar Budaya Orang Papua Justru Menjadi Sumber Nilai dalam seluruh tatanan kehidupannya, dan jika itu dipraktekan secara konsisten justru mampu menjawab seluruh tantangan kehidupan orang Papua pada zaman modern saat ini,” tegasnya.
Dalam pengalaman Mathius, sejak awal dirinya merintis Program Kampung Adat di Kabupaten Jayapura, sambutan masyarakat luar biasa.
Dijelaskannya bahwa adanya gagasan Kembali ke Kampung Adat seakan menjadi jawaban atas kerinduan masyarakat selama ini yang tidak diberi tempat dalam pembangunan, sekaligus gagasan Kembali ke Kampung Adat merupakan tawaran pembangunan yang relevan dengan situasi Papua saat ini.
“Saya tegaskan dalam buku ini bahwa bahwa praktek pembangunan di Papua selama ini sebenarnya adalah praktek penaklukan atas alam dan atas orang-orang Papua, sementara dalam kacamata masyarakat adat Papua, alam dan manusia adalah satu kesatuan yang utuh tak terpisahkan. Dalam budayanya, manusia Papua hidup menyatu dengan alam dan mereka bertugas menjaga Alamnya. Itulah juga faktanya, dalam kearifan adat papua, adalah tugas seorang Ondoafi atau Ondofolo untuk memastikan alam yang memberi dia hidup tetap terjaga dan terawat dengan baik,” jelas Mathius.
Dikatakan Mathius, dalam kacamata masyarakat adat, kehidupan sosial, politik dan ekonomi akan tetap berkelanjutan jika seluruh masyarakat merawat alam dan lingkungannya. Dengan kata lain gagasan tentang kesatuan manusia dengan alam lingkungannya sangat relevan dengan masalah ekologi, termasuk di Papua. Gagasan ini menyadarkan manusia untuk menaruh hormat pada alam lingkungan dan melestarikannya.
“Maka tentu saja prinsip ini tentu berlawanan dengan mentalitas teknologis yang selama ini mendominasi pembangunan, termasuk di Papua, yang telah menguras sumber alam secara kasar, serakah, dan membahayakan kelestarian lingkungan hidup. Dan di sini lah peran masyarakat adat itu sangat besar dan luar biasa,” katanya.
Terkait pembangunan yang selama ini berjalan di Papua kata dia, di tengah ambisi pemerintah untuk memajukan tanah Papua, terdapat masyarakat adat Papua yang terpinggirkan, serta alam yang rusak parah. Bukan hanya itu, proyek-proyek penebangan kayu, perkebunan skala besar, pertambangan, dan berbagai proyek di Papua hanya menguntungkan segelintir orang, yakni pemilik modal dan para birokrat.
“Karena itu, gagasan mengembangkan kampung adat ini adalah bagian dari upaya saya mengembalikan jati diri masyarakat adat di seluruh Papua. Solusi untuk Papua adalah solusi budaya yaitu mengembalikan jatidiri masyarakat adat. Ini jauh lebih penting dari semua solusi yang lain,” tegasnya.